Berburu Izin Frekuensi Radio Maritim
Pekalongan, 7 - 8 Agustus 2018
Spektrum frekuensi radio (SFR)
merupakan salah satu varian dari spektrum gelombang elektromagnetik, selain
sonar dan spektrum frekuensi cahaya. Penggunaan SFR sendiri sudah dialokasikan
untuk 37 jenis jasa baik yang diperuntukan buat layanan teresterial maupun
satelit. Keberadaan SFR digunakan di semua sektor kehidupan, diantaranya untuk
penerbangan, komunikasi personal, astronomi, satelit, polisi, radar, backbone komunikasi, radio, televisi,
kereta api, komunikasi data, olehraga, hiburan (entertainment), pelayaran, militer, early warning sytem, navigasi, penanggulangan bencana, dan
eksplorasi bumi.
Selain itu, SFR juga digunakan untuk komunikasi
dari satu kapal ke kapal lainnya (frekuensi maritim) yang berada di laut atau
sedang berlayar. Secara yuridis (tata tertib) bagi kapal yang menggunakan
frekuensi maritim adalah kewajiban membawa perangkat komunikasi pelayaran
sesuai dengan area cakupan pelayarannya, dan membawah perangkat komunikasi
maritim dan hanya digunakan di pita frekuensi maritim. Selain itu, juga harus menggunakan
kanal frekuensi sesuai peruntukan atau tidak semua kanal frekuensi
diperbolehkan digunakan untuk korespondensi umum (teleponi), dan tidak
menggunakan kanal frekuensi untuk tujuan iklan.
Namun faktanya,
seringkali SFR maritim dipakai untuk kegiatan komunikasi dari kapal ke darat
dengan menggunakan perangkat radio yang bukan peruntukannya, serta bukan di
pita dan kanal yang diperuntukkan untuk komunikasi maritim sehingga menimbulkan
gangguan (interference) kepada pengguna
lainnya yaitu penerbangan, misalnya. Gangguan terhadap frekuensi radio
penerbangan tersebut bersifat krusial dan sangat berbahaya karena berakibat
mengganggu komunikasi antara pilot/co-pilot dengan petugas komunikasi di menara
air traffic control (ATC) sehingga
dapat mengancam keselamatan penerbangan dan keselamatan jiwa manusia
(penumpang).
Dari hasil pantau selama ini, telah ditemukenali beberapa sumber permasalahan yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh frekuensi maritim, yaitu penggunaan radio secara tidak tepat oleh nelayan (Pelra) dan penggunaan perangkat non – maritim yang jumlahnya banyak untuk komunikasi Pelra. Selain itu, sumber gangguan juga diduga berasal dari kapal non solas yang berbobot kurang dari 30 GT dengan jarak jangkauan berlayar kurang dari 40 kilometer, termasuk kapal SOLAS yang berbobot lebih dari 30 GT yang sudah mendapatkan radio dan operator radio yang bersertifikat. Bebagai permasalahan tersebut, membuat Indonesia sering mendapat laporan yang terkait gangguan radio penerbangan dari FCC (Federal Communication Comission), dan IARU (International Radio Amateur Union).
Untuk mengatasi (meminimalisasi) gangguan frekuensi
maritim terhadap frekuensi penerbangan tersebut, maka pada 7 - 8 Agustus 2018 bertempat
di Pekalongan Jawa Tengah telah dilaksanakan sosialisasi penggunaan dan
asistensi implementasi e-Licensing proses
pelayanan frekuensi radio maritim. Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat
Operasi Sumber Daya Direktorat Jenderal Sumber daya dan perangkat Pos dan
Informatika (Ditjen SDPPI) dengan bekerjasama Balai Monitoring Spektrum
Frekuensi Radio Kelas I Semarang tersebut, dimaksudkan memberikan pemahaman dan
memudahkan proses perizinan berbasis e-Licensing
kepada pengguna SFR dinas maritim, khususnya yang berada di wilayah Pekalongan Jawa Tengah dan sekitarnya.
Kegiatan yang dihadiri oleh 8 (delapan) perwakilan
Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen
SDPPI --UPT Makassar, UPT Tangerang, UPT Yogyakarta, UPT Surabaya, UPT
Banjarmasing, UPT Manado, UPT Mataram, dan UPT Kupang-- diharapkan dapat
menjadi percontohan dan direplikasi oleh daerah-daerah nelayan dan berpesisir
pantai lainnya di Indonesia. Selain itu, acara yang turut dihadiri oleh Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kominfo Pekalongan, beberapa
pelabuhan perikanan pantai, balai pengawasan dan konservasi SDKP, Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), sekolah menengah kejuruan perikanan, serta balai
pendidikan dan latihan perikanan ini berlangsung selama 2 (dua) hari dengan
jumlah peserta ratusan orang.
Pemaparan
materi di hari pertama berjudul Perizinan kapal Ikan di Jawa Tengah yang
dipresentasikan oleh Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. Paparan
tersebut pada intinya menjelaskan beberapa peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, dan beberapa
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkait dengan usaha perikanan
tangkap di wilayah pengelolaan perikanan NKRI, jalur penangkapan ikan dan
penempatan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan NKRI. Selain
itu, juga dipaparkan Peraturan Gubernur
(Pergub) Jawa Tengah perihal penyelenggaraan pelayanan terpadu satu
pintu Provinsi Jawa Tengah, dan Pergub Jawa Tengah mengenai perizinan usaha
perikanan tangkap.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur perizinan usaha perikanan tersebut, sejatinya
merupakan instrumen pengendali pemanfaatan sumber daya ikan, tuntutan
perlindungan terhadap nelayan, membina usaha perikanan dan memberikan kepastian
hukum dalam melakukan usaha perikanan, untuk menghindari konflik dan dalam
rangka tertib administrasi. Sementara larangan penggunaan alat penangkapan
cantrang hanya dibolehkan bagi kapal yang berukuran kurang dari 30 GT dan
dioperasikan pada wilayah pengelolaan perikanan Jawa Tengah (sampai 12 mil),
dengan hasil tangkapan harus didaratkan, dilelang dan tercatat di pelabuhan
pangkalan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Paparan selanjutnya
di hari pertama berjudul pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum
frekuensi radio di wilayah Jawa Tengah yang dipresentasikan oleh Balai
Monitoring Spektrum Frekuensi Radio (Balmon SFR) Semarang. Materi paparan
tersebut menyampaikan perihal tugas pokok dan fungsi Balmon SFR Semarang
seperti pembinaan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang tertib dan
aman, serta penanganan gangguan spektrum frekuensi radio --seperti komunikasi
seluler, air navigation (airnav), radio siaran, termasuk frekuensi maritim--
dan penegakan hukum atas pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio.
Pada
hari ke dua, acara diawali dengan pemaparan materi yang berjudul pengaturan
spektrum frekuensi radio dan tata cara perizinan dinas maritim yang disampaikan
oleh Direktorat Operasi Sumber Daya Ditjen SDPPI. Materi yang dipresentasikan
pada intinya menjelaskan mengenai spektrum frekuensi radio secara umum,
frekuensi distres, global maritime distress
safety system (GMDSS) dan penggunaannya. Selain itu, dijelaskan pula
tentang masalah akibat penggunaan frekuensi radio yang tidak ssuai
peruntukannya, dan tata cara perizinan frekuensi radio maritim.
Keharusan perangkat komunikasi kapal mematuhi
ketentuan yang berlaku tidak hanya dimaksudkan mencegah timbulnya gangguan
kepada pengguna frekuensi lainnya, tapi juga
agar komunikasi penggunanya dapat dikenali dan mendapat bantuan sewaktu
mengalami kecelakaan (marabahaya) di laut. Bahkan untuk meningkatkan
keselamatan penumpang kapal sewaktu terjadi kecelakaan di laut, telah tetapkan
dan disepakati secara internasional alokasi khusus frekuensi distress (distress calling) dan global maritime distress safet system (GMDSS).
Frekuensi distress merupakan frekuensi yang
dialokasikan khusus untuk kondisi genting (bahaya) di laut dan udara. Frekuensi
distress tersebut diatur dalam global maritime
distress safety system (GMDSS) atau sistem keselamatan dan kegentingan
maritim global, yang terdiri dari prosedur keselamatan berbagai jenis peralatan
dan protokol komunikasi untuk meningkatkan keselamatan kapal, perahu, atau pun
pesawat yang mengalami kecelakaan. Tahapan tindakan yang harus dilakukan jika
terjadi marabahaya di laut adalah pertama, menghubungi VHF channel 16 telepony
atau SSB 2182, 4125, 6215, dan 829. Kedua, menyebut mayday 3 (tiga) kali.
Ketiga, memberitahukan nama kapal 3 kali. Keempat, menyebutkan nama panggilan (callsign). Kelima, menyampaikan
koordinat kapal dan jarak dari daratan.
(Sumber/foto: Abd. Salam)