SUKSESKAN ASEAN GAMES 2018 JAKARTA - PALEMBANG ENERGY OF ASIA ×

Senin, 13 Agustus 2018

Berburu Izin Frekuensi Radio Maritim


            Berburu Izin Frekuensi Radio Maritim     
                          Pekalongan, 7 - 8 Agustus 2018                   

      Spektrum frekuensi radio (SFR) merupakan salah satu varian dari spektrum gelombang elektromagnetik, selain sonar dan spektrum frekuensi cahaya. Penggunaan SFR sendiri sudah dialokasikan untuk 37 jenis jasa baik yang diperuntukan buat layanan teresterial maupun satelit. Keberadaan SFR digunakan di semua sektor kehidupan, diantaranya untuk penerbangan, komunikasi personal, astronomi, satelit, polisi, radar, backbone komunikasi, radio, televisi, kereta api, komunikasi data, olehraga, hiburan (entertainment), pelayaran, militer, early warning sytem, navigasi, penanggulangan bencana, dan eksplorasi bumi.

         Selain itu, SFR juga digunakan untuk komunikasi dari satu kapal ke kapal lainnya (frekuensi maritim) yang berada di laut atau sedang berlayar. Secara yuridis (tata tertib) bagi kapal yang menggunakan frekuensi maritim adalah kewajiban membawa perangkat komunikasi pelayaran sesuai dengan area cakupan pelayarannya, dan membawah perangkat komunikasi maritim dan hanya digunakan di pita frekuensi maritim. Selain itu, juga harus menggunakan kanal frekuensi sesuai peruntukan atau tidak semua kanal frekuensi diperbolehkan digunakan untuk korespondensi umum (teleponi), dan tidak menggunakan kanal frekuensi untuk tujuan iklan.



Namun faktanya, seringkali SFR maritim dipakai untuk kegiatan komunikasi dari kapal ke darat dengan menggunakan perangkat radio yang bukan peruntukannya, serta bukan di pita dan kanal yang diperuntukkan untuk komunikasi maritim sehingga menimbulkan gangguan (interference) kepada pengguna lainnya yaitu penerbangan, misalnya. Gangguan terhadap frekuensi radio penerbangan tersebut bersifat krusial dan sangat berbahaya karena berakibat mengganggu komunikasi antara pilot/co-pilot dengan petugas komunikasi di menara air traffic control (ATC) sehingga dapat mengancam keselamatan penerbangan dan keselamatan jiwa manusia (penumpang).


           Dari hasil pantau selama ini, telah ditemukenali beberapa sumber permasalahan yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh frekuensi maritim, yaitu penggunaan radio secara tidak tepat oleh nelayan (Pelra) dan penggunaan perangkat non – maritim yang jumlahnya banyak untuk komunikasi Pelra. Selain itu,  sumber gangguan juga diduga berasal dari kapal non solas yang berbobot kurang dari 30 GT dengan jarak jangkauan berlayar kurang dari 40 kilometer, termasuk kapal SOLAS yang berbobot lebih dari 30 GT yang sudah mendapatkan radio dan operator radio yang bersertifikat. Bebagai permasalahan tersebut, membuat Indonesia sering mendapat laporan yang terkait gangguan radio penerbangan dari FCC (Federal Communication Comission), dan IARU (International Radio Amateur Union).

         Untuk mengatasi (meminimalisasi) gangguan frekuensi maritim terhadap frekuensi penerbangan tersebut, maka pada 7 - 8 Agustus 2018 bertempat di Pekalongan Jawa Tengah telah dilaksanakan sosialisasi penggunaan dan asistensi implementasi e-Licensing proses pelayanan frekuensi radio maritim. Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Operasi Sumber Daya Direktorat Jenderal Sumber daya dan perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) dengan bekerjasama Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio Kelas I Semarang tersebut, dimaksudkan memberikan pemahaman dan memudahkan proses perizinan berbasis e-Licensing kepada pengguna SFR dinas maritim, khususnya yang berada di wilayah Pekalongan Jawa Tengah dan sekitarnya.

Kegiatan yang dihadiri oleh 8 (delapan) perwakilan Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen SDPPI --UPT Makassar, UPT Tangerang, UPT Yogyakarta, UPT Surabaya, UPT Banjarmasing, UPT Manado, UPT Mataram, dan UPT Kupang-- diharapkan dapat menjadi percontohan dan direplikasi oleh daerah-daerah nelayan dan berpesisir pantai lainnya di Indonesia. Selain itu, acara yang turut dihadiri oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kominfo Pekalongan, beberapa pelabuhan perikanan pantai, balai pengawasan dan konservasi SDKP, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), sekolah menengah kejuruan perikanan, serta balai pendidikan dan latihan perikanan ini berlangsung selama 2 (dua) hari dengan jumlah peserta ratusan orang.
Pemaparan materi di hari pertama berjudul Perizinan kapal Ikan di Jawa Tengah yang dipresentasikan oleh Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. Paparan tersebut pada intinya menjelaskan beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, dan beberapa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkait dengan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan NKRI, jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan NKRI. Selain itu, juga dipaparkan Peraturan Gubernur  (Pergub) Jawa Tengah perihal penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu Provinsi Jawa Tengah, dan Pergub Jawa Tengah mengenai perizinan usaha perikanan tangkap.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perizinan usaha perikanan tersebut, sejatinya merupakan instrumen pengendali pemanfaatan sumber daya ikan, tuntutan perlindungan terhadap nelayan, membina usaha perikanan dan memberikan kepastian hukum dalam melakukan usaha perikanan, untuk menghindari konflik dan dalam rangka tertib administrasi. Sementara larangan penggunaan alat penangkapan cantrang hanya dibolehkan bagi kapal yang berukuran kurang dari 30 GT dan dioperasikan pada wilayah pengelolaan perikanan Jawa Tengah (sampai 12 mil), dengan hasil tangkapan harus didaratkan, dilelang dan tercatat di pelabuhan pangkalan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Paparan selanjutnya di hari pertama berjudul pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio di wilayah Jawa Tengah yang dipresentasikan oleh Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio (Balmon SFR) Semarang. Materi paparan tersebut menyampaikan perihal tugas pokok dan fungsi Balmon SFR Semarang seperti pembinaan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang tertib dan aman, serta penanganan gangguan spektrum frekuensi radio --seperti komunikasi seluler, air navigation (airnav), radio siaran, termasuk frekuensi maritim-- dan penegakan hukum atas pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio.

Pada hari ke dua, acara diawali dengan pemaparan materi yang berjudul pengaturan spektrum frekuensi radio dan tata cara perizinan dinas maritim yang disampaikan oleh Direktorat Operasi Sumber Daya Ditjen SDPPI. Materi yang dipresentasikan pada intinya menjelaskan mengenai spektrum frekuensi radio secara umum, frekuensi distres, global maritime distress safety system (GMDSS) dan penggunaannya. Selain itu, dijelaskan pula tentang masalah akibat penggunaan frekuensi radio yang tidak ssuai peruntukannya, dan tata cara perizinan frekuensi radio maritim.

Keharusan perangkat komunikasi kapal mematuhi ketentuan yang berlaku tidak hanya dimaksudkan mencegah timbulnya gangguan kepada pengguna frekuensi lainnya, tapi juga  agar komunikasi penggunanya dapat dikenali dan mendapat bantuan sewaktu mengalami kecelakaan (marabahaya) di laut. Bahkan untuk meningkatkan keselamatan penumpang kapal sewaktu terjadi kecelakaan di laut, telah tetapkan dan disepakati secara internasional alokasi khusus frekuensi distress (distress calling) dan global maritime distress safet system (GMDSS).
Frekuensi distress merupakan frekuensi yang dialokasikan khusus untuk kondisi genting (bahaya) di laut dan udara. Frekuensi distress tersebut diatur dalam global maritime distress safety system (GMDSS) atau sistem keselamatan dan kegentingan maritim global, yang terdiri dari prosedur keselamatan berbagai jenis peralatan dan protokol komunikasi untuk meningkatkan keselamatan kapal, perahu, atau pun pesawat yang mengalami kecelakaan. Tahapan tindakan yang harus dilakukan jika terjadi marabahaya di laut adalah pertama, menghubungi VHF channel 16 telepony atau SSB 2182, 4125, 6215, dan 829. Kedua, menyebut mayday 3 (tiga) kali. Ketiga, memberitahukan nama kapal 3 kali. Keempat, menyebutkan nama panggilan (callsign). Kelima, menyampaikan koordinat kapal dan jarak dari daratan.

Di akhir paparannya, nara sumber menyampaikan dan menegaskan bahwa penggunaan frekuensi radio yang tidak sesuai alokasi peruntukannya melanggar ketentuan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, dan berbagai peraturan yang berbentuk Peratutan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo). Bagi yang terbukti melanggar akan dikenakan sanksi mulai dari pencabutan izin hingga denda maksimal 400 juta rupiah dan atau pidana penjara paling lama 15 tahun. Mungkin karena penegasan tersebut sehingga para peserta sosialisasi dan bimtek e-Licensing penggunaan frekuensi maritim dari pengusaha perikanan dan anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) di Jawa Tengah yang beramai-ramai berburuh izin stasiun radio maritim.


(Sumber/foto: Abd. Salam)